Sesungguhnya orang-orang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu, dan mereka berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.”

(Q.S. Al-Hujurat:15)

Rabu, 25 Mei 2011

Hanya pada Nurani dan Jiwa yang Hidup



Oleh: Hasmi Hasyim

Surat terbuka untuk sahabat dan saudariku; Atun.
Atun, pada ruang ini, saya ingin bercerita tentang “jamaah dan imamahnya”, juga tentang sebuah nilai.
Pernah suatu ketika, saya menjadi makmum dalam sholat maghrib. Allahu Akbar. Sang Imam mulai melantunkan takbiratul ihram. Keadaan menjadi terasa sunyi. Senyap, tidak seperti biasanya, yang terkadang diikuti oleh anak-anak (ribut, bising, anak-anak sibuk berkejaran kesana kemari). Kali ini terasa lain. Semua diam, terlaut dalam sunyi. Seolah takbiratul ihram yang diteriakkan Sang Imam benar-benar menusuk nurani. Mengingatkan pada suatu kebesaran. Ya,,, kebesaran yang tidak akan pernah dimiliki oleh apa dan siapa pun. Melainkan hanya Dia. Terasa sulit untuk mengurai dan mendeskripsikannya, Tun. Tapi saya merasa harus menjelaskannya. Sebab ada hubungannya dengan kehidupan kita. 

                Tetes-tetes bening mulai bergulir tak tertahankan. Semua lepas, luruh menjadi tak berarti. Nurani, jiwa... semua terhakimi. Sebuah pengadilan yang mengalirkan rasa damai dan tentram. Lama,,, baru kemudian lafadz-lafadz Al-Fatihah terdengar. Yang akhirnya membawa badai ketika tiba pada lafadz ;”Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’in”. Lidah berubah kelu, seolah tak ada lagi kesanggupan untuk berucap. Walau yang diucapkan itu adalah wujud bakti jua kepada-Nya. Terasa ada sesuatu yang tak bisa terlukiskan, menyusup di relung jiwa.
Atun,,,
Andai saya tidak dianugerahiakal, pikiran, nurani, dan jiwa, maka mungkin kau pun tidak usah terlalu repot mendengar ocehan konyolku ini. Tapi, Tun,,, dari pengalaman saya itu,saya seperti mendapat gambaran, bahwa ada semacam keteraturan dan sinkronisasi yang tercipta dalam jamaah itu. Sang Imam dengan tatanan nilai yang dipegangnya, berhasil membawa jamaahnya pada sebuah ruang penghayatan yang cukup mendalam, yang tercipta dari dasar jiwa. Lafadz sakral yang mengalun, bukan semata alunan kata yang terucap. Tapi, ia adalah sebuah realitas kehidupan, pengabdian, pengakuan, ketundukan, kepatuhan, dan hakekat dari sebuah kehidupan. Sebuah kegemilangan Imam, jamaah, dan tata nilai berpadu menjadi satu.
Tak dapat disangkal, bahwa keutuhan sebuah kesatuan jamaah, organisasi, atau perkumpulan, berhasil tidaknya membawa diri (jamaah) pada suatu tatanan nilai, tujuan, cita-cita, dan misinya, sangat banyak dipengaruhi oleh keberadaan “Sang Imam”. Dan sejarah peradaban anak-anak zaman telah membuktikan hal ini. Mungkin intinya adalah angkat atau pilihlah pemimpin yang tepat. Pakai kriteria yang telah ditetapkan oleh hukum syara’ Allah dan Rasul-Nya. Kalau hanya cerdas saja, itu belum cukup. Ibarat seorang Imam, kalau lidahnya yang fasih melantunkan bacan-bacaan Al-Qur’an, sementara bacaan yang dilantunkan itu terasa hampa,  kehilangan bobot, dan hanya sebatas kata yang setelah terucap, berubah menjadi atom-atom di udara.hilang tanpa ada setitik bekas. Mengapa demikian? Jawabnya ada pada nurani yang hidup, jiwa yang hidup, dan roh yang memuat “Kehidupan dan nilai”.
***
Sesungguhnya,
Sebuah sungai dapat mengalir beribu-ribu mil jauhnya tanpa putus
Dan tak akan habis airnya selama dibalik sungai ini terdapat mata air
Yang selalu memancarkan airnya.
Demikian pula dengan;
jiwa kita
aduhai,,, betapa agung dan tentram jiwa
yang padanya bersemayam ‘hubungan yang suci’
hanya kepada-Nya.

***
               
Atun,,,
Izinkan aku menutup percakapan sunyi ini dengan sebuah kenangan tentang seorang generasi dari Khadijah, Fatimah, Asiyah, dan Zainab Al-Ghazali. Inilah yang aku dapatkan dalamdirinya, Tun:
Sederhana dan bersahaja. Gerakannya lincah, gesit, dan tidak mengenal “tunggu dulu”. Berjubah dan berkerudung besar, yang menjuntai hingga separuh tubuhnya. Itulah sekedar penampilan luarnya. Tapi, nuraniku seolah membisikkan bahw dia adalah paduan dari sekian macam pantulan. Di dalam dirinya, tercermin gambaran-gambaran jiwa yang syarat dengan muatan makna. Ia bisa hadir menyegarkan suasana dengan senyum dan candanya yang menggelitik. Namun sekejap saja, ketika semua masih mengharap dan menunggu ucapan canda guraunya, ia justru meleset jauh dan tak diketahui ke mana gerangan dia menghilang. Kau ingin tahu ke mana dia, Tun?
Ya, “tepat waktu”. Itulah yang kemudian menggerakkan langkahnya kembali ke duanianya. Siapa yang menyangka bahwa canda, tawa, dan gurauannya, sekejap dalam simpuh, rukuk dan sujudnya berubah menjadi tetes-tetes bening yang jatuh bergulir pasrah. Ia begitu menikmati air mata penyerahan jiwanya, Tun. SHOLAT.
Dan ketika kemudian ia kembali bergabung, senyum cerianya kembali merekah. Ada kepuasan tergambar di wajahnya. Damai,,, dan lega! Tak ada kepura-puraan. Jiwanya begitu siap. Ia jalani waktu yang dianugrahkan kepadanya dengan penuh penghayatan. Ia nampakkan segala yang harus ia nampakkan. Meski ia tahu, untuk itu ia bisa dicemooh, dan dia kemasi dan menyimpan mana yang harus disimpannya. Itulah dia, Tun. Kelembutan dan kemanjaan adalah miliknya juga. Namun, ia tak bisa di duga, bahwa ia pun sanggup tampil di medan yang kritis dengan penuh ketegasan. Tak kenal kompromi. Ia adalah sosok yang terpisah dari kebanyakan. Ia dalah sosok yang mencoba damai dalam selimut suci sang jubah dan kerudung seorang muslimah. Nampak benar kedamaian dan ketentraman itu di wajahnya. Tidak ekslusif, dan sengan gayanya sendiri ia bisa tampil  membawa diri pada segala moment. Walau ia hanya seorang. Mungkinkah ia ingin mencari dan membuktikan, bahwa jiwa yang kokoh dan damai itu adalah milik “para pemakai” busana (muslim)?
Atun, sahabatku!
                Engkau tentu tidak menganggapku berlebihan memandang dia. Sebab demikianlah keadaan dan kenyataannya. Sosok yang menyimpan jiwa-jiwa pendahulu yang berkapasitas “energi hidup”. Salah dan keliru memang tak luput darinya. Mungkin juga ia pernah dusta dan munafik. Tapi dusta dan munafik dengan segala kerendahan hati diakuinya secara jujur di hadapan Penciptanya. Seolah dilakukannya semua itu dengan memohon izin dan ampunan terlebih dahulu. Mungkinkah ada ampunan sebelum salah dan khilaf? Itulah dia, Tun. Sosok yang dilahirkan seolah hanya untuk terus memhon ampunan-Nya. Nampak benar itu dalam ekspresi lahiriyah dan batinnya. Namun, dibalik itu semua, ia pun cerdas dan kreatif. Ya,,, kecerdasan dan kreatifitasnya yang bukan hanya diperuntukkan buat kesejahteraan pribadinya. Bukankah, betapa seringnya ia menangis, meratap, menghiba dalam menyaksikan, betapa kaumnya (hawa) dalam kehidupan modern, hingga kini masih terkungkung dalam ketidakberdayaan akibat kebodohan? Tidak hanya air mata yang bisa ia curahkan. Tetapi peras keringat pun ia ikhlas, tanpa harus gengsi.
                Ia ibarat mata air jernih. Airnya yang sejuk-bening terus mengalir, melepas haus dan dahaga para musafir pencari kebenaran. Memberi sejuk dalam jiwa yang dilipu kegersangan. Ya, ia bagaikan telaga bening yang tiada pernah kehilangan air; mata air kesejukan! Ia adalah sosok yang dalam sunyi selalu berkawan dengan linangan air mata. Engkau mungkin tidak percaya, Tun. Bahwa aku pernah menyaksikan ia berdesis dengan permohonan yang demikian halus, “Ya Tuhanku, sungguh hamba begitu sangat bersyuku. Sekiranya Engkau meberiku kesempatan untuk menjadi Ibu yang penuh cinta-kasih bagi para yatim piatu,para gembel, dan bagi para mereka yang tertindas. Ya Tuhanku, berilah kesempatan bagi hamba untuk berdiri di atas mimbar kebenaran itu, mengetuk nurani dan jiwa setiap manusia dengan ucapanku yang penuh bijak.
Atun, saudaraku...
                Hampir tak bisa aku lukiskan dengan kata. Bagaimana aku begitu terkenang dengan sosok ini. Mungkinkah inilah sosok yang merupakan potret diri dari seorang Khadijah, Aisyah, Fatimah, Balqis, Rabiah Al-Adawiyah,dan Zainab Al-Ghazali?
Entahlah, Tun,,,
Aku yakin. Kau pasti bertanya, siapa gerangan tokoh yang begitu aku kagumi ini.tokoh yang begitu menghayati perannya dalam kehidupan ini. Tapi, aku berharap kau jangan bertanya padaku mengenai siapa dia. Sebab aku pun sesungguhnya masih mencari dimana dan siapa gerangan dia. Aneh memang kedengarannya. Bagaimana mungkin kita bisa menjadi kagum pada sosok yang belum nampak itu. Ya,,, sepenggal kata yang mencoba melukis jiwa seorang bocah Sang Musafir. Adakah hidup yang sejati juga bisa diraihnya?
***
Hanya sepenggal kata,,,
Bahasa seorang bocah,
Yang baru belajarmengeja...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar