Sesungguhnya orang-orang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu, dan mereka berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.”

(Q.S. Al-Hujurat:15)

Rabu, 12 Januari 2011

Meretas Profesionalisme Pengurus demi Keeksisan Lembaga

Oleh: A. Saputri Mulyanna
Ketua Korwil Korps PII Wati Sul-Sel

Menjamah Kearifan Lokal demi Meretas Profesionalisme Pengurus
Salah satu faktor penentu keberhasilan sebuah organisasi adalah faktor Sumber Daya Manusia (SDM). Pengelolaan SDM harus dilakukan secara massif dalam kerangka sistem yang bersifat strategis. Mengelolah SDM dengan segala potensi yang ada, kemudian secara bersama menghimpun kekuatan untuk merealisasikan misi yang telah dirumuskannya melalui karya terbaiknya. Penanganan SDM yang baik akan bermuara pada keberhasilan suatu organisasi, yang kemudian secara tidak langsung akan berimbas pada optimalisasi dalam merealisasikan misi yang telah dirumuskannya. Salah satu indikator sederhana atas keberhasilan tersebut setidaknya dapat kita lihat pada seberapa besar kinerja yang dihasilkan dalam mengimplementasikan setiap program. Hal ini ditandai dengan keberhasilan pelaksanaan program yang kemudian berimplikasi terhadap terciptanya produktivitas kerja dalam organisasi tersebut. Sehingga eksistensi organisasi akan terus dipertahankan. Adalah sebuah langkah yang cukup fundamental dalam roda kepengurusan sebuah organisasi untuk menyusun taktik dan strategi terbaiknya. Demi mencipta karya maksimal dalam mencapai visi yang telah diusungnya. Adanya tuntutan dalam penyelenggaraan program melalui tata kelola yang baik, merupakan satu titik yang harus disikapi dengan baik. Tentu dibutuhkan komitmen bersama selaku pihak yang berkontribusi didalamnya. Maka dituntutlah sikap profesionalitas itu.

Menjamah kearifan lokal (local wisdom) dalam berlembaga adalah sebuah pilihan yang mutlak harus ada, jika profesionalisme itu ingin digenggam. Setidaknya, PII telah memiliki segudang kearifan lokal tersebut. Nilai-nilai sosial dan humanistik yang telah terpola dan akhirnya melebur telah membentuk nilai karakteristik dari organisasi tersebut. Pun tentu tidak terlepas dari nilai-nilai transendensi yang senantiasa membingkai setiap geraknya. Sebut saja gotong royong atau dalam istilah berlembaga kita selalu sebut kerjasama. Disebut organisasi karena ia dibangun bersama secara organistik demi mencapai satu tujuan. Itulah visi. Menjadikannya bagai satu jasad. Tidak ada lagi ke-aku-an atau ke-kami-an yang terbentuk. Yang ada hanya ke-kita-an. Memikirkan bagaimana membentuk sebuah Team Work yang solid dan dapat diandalkan. Sehingga, terciptalah sistem sismbiosis mutualisme, dimana terjadi peristiwa give and take; saling memberi dan menerima. Tidak ada yang merasa dirugikan; tapi semua merasa diuntungkan. Team work building (membangun kerjasama/ tim kerja) adalah satu nilai dari kearifan lokal yang harus ada. Bekerja bersama-sama, dan sama-sama bekerja!
Nilai lain yang tak kalah pentingnya adalah nilai kekeluargaan, nilai dari proses musyawarah untuk mufakat, dan tepa selira (toleransi). Nilai kekeluargaan yang akhirnya menelorkan sebuah ukhuwah, akan menjadi ruh dalam setiap gerak dan langkah dalam sebuah organisasi. Ukhuwah itulah yang akan membentuk gaya gravitasi dan menjadi titik magnetis bagi para pengurusnya untuk tetap bertahan dan mencipta karya kreatif-inovatifnya. Pun menunjukkan sikap kritis-solutifnya. Dengan demikian, maka terbentuklah jiwa loyalitasnya. Melalui pelestarian loyalitas itulah yang kemudian akan bermuara pada profesionalitas pengurus. Mengapa? Karena kesadaran telah tercipta dalam dirinya. Kesadaran itulah yang akan membuktikan komitmen yang mungkin pernah dilontarkan sebelumnya.
Ya, nilai-nilai kearifan lokal itu telah ada. Sejak dulu, bahkan jauh sebelum kita ada. Nilai-nilai itulah yang terus memohon harap untuk terus dipertahankan. Tak semata untuk menjaga keharmonisan berorganisasi saja. Lebih dari itu! Juga menjadi bentuk pengabdian kita (manusia) kepada Sang Khalik. Maka, nilai lain yang tak dapat dinafikkan untuk harus ada adalah nilai transendensi. PII sebagai organisasi berbasis islamis, tentu telah ‘menisbatkan’ diri sebagai organisasi ideologis. Dimana setiap aspek dari gerak dan pergerakannya tak boleh lepas dari nilai-nilai islamis, yang tidak bertentangan dengan syari’at-Nya. Nilai transendensi yang seharusnya dijadikan sebagai bagian penting dari proses membangun peradaban yang bermartabat. Untuk mengukuhkan keimanan dalam hati-hati kita yang terkadang mungkin saja memudar tergerus nafsu. Nilai transendensi itu pula lah yang menjadi penopang dalam mengeliminasi problematika-problematika yang ada.

Menantang Eksistensi Lembaga...
Sebagai organisasi yang dideklarasikan untuk mengambil peran dalam ranah pendidikan dan kebudayaan, untuk dipersembahkan kepada agama dan bangsa, seyogyanya Pelajar Islam Indonesia (PII) sebagai organisasi kader dengan sasaran pelajar, dapat mengambil peran strategisnya untuk melakukan perbaikan di tengah krisis multidimensial yang menjamur saat ini. Pelajar, sebagai aset bangsa yang sangat fundamental, adalah titik fokus dalam mewujudkan rumusan visi dan misi yang telah digagasnya. Dan Indonesia, sebagai fokusing dari medan dakwah pergerakan Pelajar Islam Indonesia (PII), kini ditempa arus global yang kian menjelma. Mirisnya, pelajarlah yang mendapat porsi terbesar sebagai ‘tumbal’ arus global itu. Berangkat dari sebuah kerinduan dan harapan akan perubahan yang lahir atas dasar kesadaran sejarah, merupakan satu tekad bersama untuk menjaga misi dan eksistensi Pelajar Islam Indonesia (PII), agar tetap eksis mengambil perannya hingga saat ini. Tanpa harus memalingkan diri dari problematika yang dihadapinya. Tapi dengan langkah berani mengumpulkan kekuatan untuk dapat menghadapi dengan sikap bijaknya.
Korps Pelajar Islam Indonesia (PII) Wati, sebagai badan otonom dari organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) itu, tentu akan menjadi bagian dalam meniti perjuangan tersebut. Selama 47 tahun berkiprah, ia pun dituntut untuk dapat melestarikan bahkan menumbuhkembangkan segala potensi dan kekuatan yang dimilikinya. Untuk dapat berdiri kokoh di tengah peradaban ini. Pelajar putri yang menjadi lahan garapnya, akan menjadi tantangan tersendiri yang harus dihadapi bersama, demi mewujudkan eksistensinya.
Eksistensi Korwil Korps PII Wati Sul-Sel hingga hari ini setidaknya menjadi salah satu bentuk upaya dalam meneruskan embrio perjuangan sebelumnya. Yang menjadikan pelajar putri sebagai lahan garapnya, demi meretas problematika-problematika yang ada. Siapa yang tidak terusik melihat pelajar yang tidak punya sopan santun, bagus nilainya untuk "pelajaran" pornoaksi dan pornografi, senang narkoba dan narkotika, hobi begadang, keluyuran, dan mangkal di tempat hiburan malam, atau doyan hura-hura? Siapa yang tidak mengelus dada melihat semakin meningkatnya kasus pelecehan seksual dan pemerkosaan di kalangan pelajar putri, yang bahkan berujung pada tindakan aborsi? Siapa yang tidak menggelengkan kepala, menyaksikan semakin jelasnya posisi perempuan sebagai aktris dalam perhelatan eksploitasi. Dan semakin nampaknya posisi kaum perempuan sebagai alat komersial oleh media-media? Siapa yang tidak terketuk hatinya menemukan kasus perdagangan wanita dan anak, yang diantaranya mungkin dimanfaatkan untuk bisnis seks? Mungkinkah mata kita telah buta, atau berpura untuk buta dan tuli dengan kondisi yang telah terjadi, bahkan mungkin telah terjadi di sekitar kita? Mungkinkah hati telah membatu, hingga tak terketuk lagi?
Polemik yang kian merebak, setidaknya telah cukup menjadi alasan untuk menentukan premis utama, bahwa betapa dunia semakin tak bermoral. Indonesia? Pun begitu! Realita anak bangsa kian terpajang di depan mata, dan memberikan artikulasi yang cukup tegas untuk menyimpulkan, bahwa Indonesia semakin berada pada titik nadir yang semakin memprihatinkan. Budaya ketimuran telah luntur! Lantas, haruskah kita diam mengelus dada sembari menyerah pada realita kehidupan yang kita anggap telah menjadi takdir? Masihkah kita anggap hal demikian sebagai sesuatu yang biasa saja? Atau mungkin menganggap bahwa dunia memang sudah semakin sekarat, sembari berkata: Biarkan sajalah. Gitu aja kok repot! Jika benar demikian, sungguh betapa semakin terkuak nuansa keangkuhan dalam diri yang semakin individualistik. Semakin tersingkap kelemahan diri dalam menebas kebuasan nafsiyah dan ketidak-sensitifitas-an kita terhadap perubahan yang telah terjadi. Perubahan pahit yang tidak semestinya ada. Pun terhadap kebobrokan yang kian menjelma. Atau, sudah tak mampu lagikah diri membedakan tentang yang hak dan yang bathil? Haruskah mekanisme pembiaran terus dipertahankan? Jelas tidak!
Ketenangan yang semakin terusik dengan fenomena-fenomena tak beretika, seharusnya melahirkan kesadaran untuk terus memberikan kontribusi maksimal. Mengawali visi besar Korwil Korps PII Wati Sul-Sel periode 2010-2012: “Optimalisasi peran kader dalam mewujudkan eksistensi Korwil Korps PII Wati Sul-Sel”, tentu merupakan langkah optimis untuk memberikan yang terbaik untuk memangkas problematika dan segala bentuk kekolotan yang telah menyelimuti dunia pelajar, terkhusus pelajar putri dalam tataran wilayah Sulawesi Selatan. Eksistensinya dituntut! Korps PII Wati, sebagai elemen gerakan kemuslimahan yang peduli pada lahirnya pelajar berkarakter, sudah selayaknya ikut menisbatkan diri dalam menebas kekerdilan karakter yang semakin jelas. Maka, Korwil Korps PII Wati Sul-Sel pun harus ikut bermain peran untuk dapat menjawab diagnosa yang telah menggejala. Konteks kekinian dibaca oleh Korwil Korps PII Wati Sul-Sel, bahwa secara strategis perlu ada isu yang menjadi sentral point geraknya. Pilihan pun dijatuhkan pada isu Pendidikan Karakter. Alasannya, tentu terkait dengan segala bentuk penyimpangan yang telah hadir menjamur. Pengesahan UUP (Undang-Undang Pornografi) pada Oktober 2008 lalu, tentu bukan satu-satunya solusi mutlak untuk dapat menyingkirkan persoalan-persoalan yang telah menyelimuti pelajar putri. Meskipun itu adalah payung hukum yang bisa saja akan mengikat dan memaksa masyarakat. Tapi tidak semudah itu.
Wacana tentang pendidikan karakter memang telah membumi. Namun, disini, kita berbicara tentang bagaimana agar pendidikan karakter itu benar-benar dapat diaplikasikan secara maksimal. Sehingga, optimalisasi penerapan pendidikan karakter benar-benar dapat menjadi jalan keluar terhadap krisis yang melanda bangsa ini. Terkhusus yang tengah menggejala di kalangan pelajar, tidak terkecuali pelajar putri. Pengesahan UUP yang akan mengikat kasus pornoaksi dan pornografi, hingga hari ini pun masih menyisakan tanda tanya besar; bagaimana realisasi UUP tersebut? Memang, mungkin masih butuh waktu untuk dapat mengkristal dan mengendap di masyarakat. Mungkin, hari ini masih dalam rangka proses adaptasi dan proses mencerna sebelum akhirnya dapat diwujudkan dan diterima oleh masyarakat.
Atas segala bentuk  amoral yang telah ada, sebenarnya hal terpenting yang harus ada adalah kesadaran. Seluruh gerak psiko-motorik manusia akan ditentukan oleh manusianya sendiri. Tapi aspek itulah yang ternyata sulit untuk dijamah oleh semua orang. Apalagi untuk kalangan remaja yang masih dalam kondisi labil. Melakukan reformulasi habbits mungkin bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Merombak kebiasaan-kebiasaan yang telah tertanam kuat memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tapi, hal itulah yang justru menjadi tantangan tersendiri demi menggebrak sebuah perubahan. Perubahan ke arah yang lebih baik!
Sekolah formal yang ada, selayaknya tidak hanya mampu melahirkan seorang ahli matematika atau ahli fisika saja. Tapi, sekolah pun harus ikut mengambil peran untuk membentuk karakter bagi para alumninya. Jika pendidikan hanya mengukur seseorang dari aspek nilai matematika dan fisika saja misalnya, maka pendidikan itu tidak akan melahirkan karakter. Dan pendidikan karakter yang dimaksud tentu tak sebatas hanya menjadi pengetahuan atau hapalan semata. Tapi, bagaimana agar di setiap pelajaran apa pun dapat diberi "selipan" materi yang mengajarkan tentang kejujuran, kepercayaan, keberanian, dan akhirnya dapat menemukenali jati dan potensi dirinya. Sehingga, kejadian salah arah atau salah langkah akan semakin diminimalisir. Dan dengan demikian, tidak terjadi disorientasi dalam dunia pendidikan. Yang selama ini kecenderungannya lebih pada orientasi nilai (nilai yang dimaksud dalam bentuk angka), tapi bukan nilai (value). Padahal, nilai (value) itulah yang justru akan menjadi pedoman normatif setiap tindakan. Karena itu, berbicara tentang pendidikan karakter, tentu seluruh kalangan tak dapat dilepas dan berlepas diri. Tidak hanya peran sekolah yang ikut menerapkan pendidikan karakter yang diselip di setiap mata pelajarannya. Orang tua, sebagai pendidik nomor 1, tentu memiliki peran yang tak kalah penting. Masyarakat pun demikian, sebagai sumber nilai dalam menjalankan perannya sebagai makhluk sosial. Sumber-sumber karakter tersebut akan terealisasi menjadi karakter individu yang akhirnya akan dipraktikkan di rumah dan di masyarakat. Optimalisasi penerapan pendidikan karakter inilah yang akan mengkawal langkah para remaja yang masih cukup labil. Lebih dari itu, secara tidak langsung akan menjadi tawaran solutif terhadap maraknya penyimpangan-penyimpangan di kalangan pelajar putri.
Manifestasi Peraturan Dasar (PD) Korps PII Wati telah lama menantang kita untuk segera diwujudkan; terbentuknya kader-kader pelajar muslimah pemimpin yang mampu mengemban misi transformasi pendidikan dan kebudayaan yang sesuai dengan Islam. Peran-peran sebagai agent of social change adalah sebuah kemestian. Jiwa problem solver harus dibuktikan. Dan diharapkan dapat mentransfer  ataupun merubah nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dengan nilai-nilai yang sesuai dengan Islam. Dan sumber nilai itu mungkin sebagian besar merupakan manifestasi dari kearifan lokal yang telah ada namun belum menjelma. Pada akhirnya, paparan tentang pendidikan karakter tersebut menantang kita untuk dapat menjawab makna dari pendidikan karakter itu sendiri. Pun tentang quo vadis (akan dibawa ke mana) pendidikan karakter. Dan yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana titik evaluasi dari penerapan pendidikan karakter.

Sepenggal Harapan:
Sebuah organisasi akan tumbuh dan berkembang dengan baik, jikalau ditopang oleh SDM-SDM yang loyal. Sebagai bahan proyeksi ke depan, besar harapan Korwil Korps PII Wati Sul-Sel dapat konsisten dan kontinyu dalam mengkawal isu yang telah diusungnya. Kesadaran untuk terus memberikan kontribusi maksimal adalah hal penting yang harus kita camkan kuat dalam sanubari kita, hingga ia akan menjelma dalam titik alam bawah sadar kita. Yang kemudian akan menggerakkan tubuh kita untuk terus berkarya mempersembahkan karya terbaik tanpa ada keterpaksaan.
Bergerak dan terus berbuat untuk dapat mencipta karya terbaik, menghindarkan diri dari keterkungkungan nafsiyah, demi sebuah perubahan. Kini, sejarah telah ada di genggaman kita. Saatnya mengukir masa dengan tinta emas kita. Maka, tidak selayaknya diri  mendiamkan masa ini. Karena kelak sejarah akan membuktikan. Tentang siapa yang pantas dan tak pantas diabadikan. Pun tentang cerita yang pantas untuk dimuseumkan. Dan semua itu akan bermula pada hari ini. Dan hari ini ada di tangan kita.
Dengan bertolak bahwa keyakinan terhadap upaya yang kita lakukan adalah sebuah kemestian, dan keseriusan dalam melakukan upaya atau ikhtiar tersebut adalah syaratnya, maka pencapaian tujuan adalah sebuah keniscayaan, Insya Allah. ’Ikrar Jakarta’, sebuah komitmen yang senantiasa diteriakkan oleh kader dalam setiap prosesi pengkaderan, tidak sepantasnya hanya menjadi sebuah wacana formalitas pelengkap training belaka. Tapi lebih dari itu. Komitmen itulah yang harus menggerakkan hati kita untuk bisa mengaplikasikan segala apa yang pernah kita ikrarkan. Karena itulah komitmen yang kelak akan dimintai pertanggungjawabannya.
”...Cukuplah Allah menjadi Penolong dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.” 
(Q.S Ali Imran: 173).

PII ...
Disinilah ruangku meraba hikmah hidup. Ruangku untuk berpikir lebih banyak menjadi orang yang bermanfaat. Ruangku untuk membakar semangat hidup untuk terus berkarya. Ruangku untuk menambal kehidupan yang masih saja bercelah. Ruangku untuk lebih mengenal diriku. Ruangku untuk lebih memahami kehadiranku. Ruangku untuk kokoh menantang kehidupan. Ruangku untuk mengukuhkan kedewasaan di balik peristiwa-peristiwa hidup yang terus menerkam. Ruangku untuk menancapkan kekuatan dalam sanubari yang terkadang terkikis kelemahan jiwa. Ruangku untuk meruntuhkan kebekuan paradigma dalam menghadapi problematika hidup. Ruangku untuk memahami arti kesederhanaan dan prinsip hidup. Ruangku untuk mengerti makna dari sebuah kebersamaan dan merenggut sebuah ukhuwah. Ya, aku menjamahnya di sini! Dari sinilah gravitasi itu ada...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar